Baca Baca Lah
BabbyPooh
Selasa, 22 Juni 2010
Jumat, 04 Juni 2010
Renungan
Karena rasa penasaran, aku menghampiri salah seorang dari mereka. Seorang bapak dengan pakaian yang sedikit berbeda, kaos oblong dan celana pendek sebatas lutut, topi di kepala dan sebuah sekop di bahunya.
"Maaf, Pak." Lelaki itu hanya melirik sebentar dan terus melangkah. "Hendak ke mana orang-orang ini?" tanyaku. Lagi-lagi lelaki itu hanya melirik.
"Melayat," jawabnya pendek sambil terus melangkah. Aku diam. Melayat, gumamku dalam hati. Kembali hatiku berdesir mengeja kata itu.
"Kalau boleh tahu, siapa yang meninggal?" tanyaku lagi. Lelaki itu menghentikan langkahnya, berdiri dengan tatapan aneh. Ia terus menatapku lekat-lekat. Aku diam.
"Kamu. Kamu yang meninggal," ucapnya pendek. Kemudian kembali melangkah.
"Aku?" Aku terkesiap mendengar jawaban lelaki itu. "Aku yang meninggal?" ulangku. Sementara lelaki itu hanya diam dan terus berjalan.
"Bapak mau menggali kubur?" Sebuah pertanyaan bodoh yang aku ajukan. Aku juga melihat beberapa lelaki yang membawa cangkul dan sekop di bahu mereka.
"Ya."
Aku berhenti dan membiarkan lelaki itu menghilang di antara kerumunan orang-orang yang berjalan dalam satu arah.
Aku yang meninggal, batinku. Hatiku benar-benar bergetar membayangkannya. Apa maksud lelaki itu?
"Maaf, siapa yang meninggal?" kembali aku bertanya kepada seorang wanita dengan pakaian hitam-hitam yang kebetulan lewat di dekatku. Wanita itu berhenti sejenak, menatapku lekat-lekat, lalu menggeleng pelan.
"Kamu. Kamu yang meninggal," jawabnya pendek, kemudian kembali berjalan. Dan kembali aku terdiam.
Aku berjalan mengikuti kerumunan orang-orang itu. Sepertinya mereka sangat tergesa-gesa. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya aku sampai di sebuah rumah. Satu-satunya rumah di bagian paling ujung jalan ini. Rumah mungil yang terpencil. Selebihnya hanyalah sungai yang membentang memisahkan desa tetangga. Kerumunan orang-orang nampak begitu ramai. Di sebelah timur, barat, depan dan belakang rumah tersebut. Itu rumahku, batinku. Kebingungan melanda benakku.
Bergegas aku melangkah menembus kerumunan tersebut. Lalu aku segera masuk ke dalam rumah. Di tengah ruangan ada peti mati yang terbuka tutupnya. Beberapa lelaki dan perempuan bersimpuh di sekelilingnya. Ayah dan ibu terisak di salah satu ujung peti mati tersebut. Sebagian dari orang-orang itu menoleh ke arahku. Tatapan mereka benar-benar asing. Perlahan aku mendekati salah seorang dari mereka. Ia pemuka adat di sini.
"Maaf, siapa yang meninggal?" sedikit berbisik aku bertanya. Lelaki pemuka adat itu menoleh. Tatapannya sama dengan tatapan orang-orang yang lain.
"Kamu yang meninggal," jawabnya sambil terus menatap wajahku.
"Tapi aku masih hidup. Aku masih bernafas. Aku juga bisa bicara. Orang-orang juga masih bisa melihatku," sergahku. Lelaki itu diam.
"Bahkan, Bapak bisa memegang tubuhku," lanjutku.
Aku menarik salah satu tangan lelaki itu dan mendekatkannya ke tubuhku. Namun dengan cepat, lelaki itu menarik kembali tangannya.
"Aku masih bisa menyentuh orang lain. Berarti aku belum mati," ucapku.
"Jiwa kamu. Jiwa kamu yang telah meninggal," lelaki pemuka adat itu berkata lirih.
"Jiwaku?" Tatapanku beralih ke dalam peti mati yang ada di hadapanku. Ada buntalan kain kafan yang diikat sepanjang peti mati itu. Perlahan dan dengan hati-hati aku menyentuhnya. Kosong.
"Jiwa - seperti juga kematian - ia tidak bisa diraba atau dilihat." Lelaki pemuka adat itu seakan mengerti kebingunganku. Kemudian kami diam.
Tak lama kemudian, proses pemakaman dimulai. Beberapa orang lelaki memindahkan peti mati yang telah ditutup ke dalam keranda. Kemudian beberapa lelaki yang lain berdiri pada tiap ujung keranda tersebut, lalu mengangkatnya dan membawa keluar rumah. Kerumunan segera tersibak saat rombongan pembawa keranda itu lewat. Dengan langkah panjang-panjang, lelaki-lelaki itu membawa keranda ke arah makam. Di belakangnya mengekor para pelayat, termasuk aku.
Pemakaman berlangsung dengan cepat. Tak lama kemudian, para pelayat bubar. Aku berjalan pelan mendekati makam yang masih baru itu. Aku bersimpuh di samping gundukan tanah merah. Pada batu nisannya tertulis namaku, juga tarikh lahir dan tanggal kematianku.
Aku terdiam. Sekuntum bunga kamboja luruh dari dahannya. Aku telah meninggal. Jiwaku telah meninggal. Kata-kata itu terus terngiang dalam benakku.
Kamis, 03 Juni 2010
Ciri-Ciri Fisik Perawakan Nabi Muhammad
Sampai saat ini tidak ada satu orangpun yang bisa melukiskan rupa Muhammad. Selain larangan dari Nabi Muhammad sendiri, hal ini juga untuk menjaga bagi kaum muslim agar tidak memuja Muhammad melebihi Allah. Dan Allah maha tahu, memang sekarang banyak kita jumpai gambar para Dewa dan Tuhan yang sering di parodikan oleh manusia itu sendiri. Itulah dampak jika Dewa atau Tuhannya memperbolehkan umatnya untuk melukiskan wujudnya. Memang kita tidak boleh menggambarkan Muhammad dalam bentuk lukisan dan patung, namun kita boleh mengetahui ciri-ciri perawakan Muhammad seperti yang diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi Thalib merincikan ciri-ciri fisik dan penampilan keseharian Muhammad, Ali berkata :
“Nabi Muhammad tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Berpostur indah di kalangan kaumnya, tidak terlalu gemuk dan tidak pula terlalu kurus. Perawakannnya bagus sebagai pria yang tampan. Badannya tidak tambun, wajah tidak bulat kecil, warna kulitnya putih kemerah-merahan, sepasang matanya hitam, bulu matanya panjang. Tulang kepalanya dan tulang antara kedua pundaknya besar, bulu badannya halus memanjang dari pusar sampai dada. Rambutnya sedikit, kedua telapak tangan dan telapak kakinya tebal. Apabila berjalan tidak pernah menancapkan kedua telapak kakinya, beliau melangkah dengan cepat dan pasti. Apabila menoleh, beliau menolehkan wajah dan badannya secara bersamaan. Di antara kedua bahunya terdapat tanda kenabian dan memang beliau adalah penutup para nabi. Beliau adalah orang yang paling dermawan, paling berlapang dada, paling jujur ucapannya, paling bertanggung jawab dan paling baik pergaulannya. Siapa saja yang bergaul dengannya pasti akan menyukainya.”
Setiap orang yang bertemu Muhammad pasti akan berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya, baik sebelum maupun sesudahnya.” Begitulah Muhammad di mata khalayak, sebab beliau berakhlah sangat mulia seperti yang digambarkan Al-Qur’an,“
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.“(Al-Qalam: 4)”.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Muhammad digambarkan sebagai orang yang berkulit putih. Dikisahkan oleh Ismail bin Abi Khalid :
“Aku mendengar Abu Juhaifa berkata, “Aku melihat sang Nabi dan Al-Hasan bin Ali tampak mirip dia. “Aku berkata pada Abu Juhaifa, “Coba gambarkan sosok nabi padaku.” Dia berkata, “Dia berkulit putih dan jenggotnya hitam dengan uban putih. Dia berjanji memberi kami 13 ekor unta betina, tapi dia terlanjur mati terlebih dahulu sebelum kami menerimanya.”
Tentang mencat rambut dengan henna (pewarna rambut berwarna merah). “Sudah jelas aku melihat Rasulallah mencat rambutnya dengan henna dan itulah sebabnya akupun mencat rambutku dengan henna.